Minggu, 28 Maret 2010

Sepucuk Surat damai Soeharto

Sepucuk Surat damai Soeharto

Omar Dani mengaku tak dendam kepada Soeharto. Sejak kapan hubungan dua panglima itu menegang?

19 Oktober 1965. Cuaca politik tengah memanas. Tapi pagi itu Omar Dani bersiap meninggalkan Tanah Air. Perintah Presiden Soekarno tak dapat ia tampik: ia mesti pergi ke beberapa negara Eropa dan Asia untuk menjajaki kerja sama dengan beberapa industri penerbangan. Saat itu ia telah melepas jabatan Menteri/Panglima Angkatan Udara. Soekarno memberinya jabatan Panglima Komando Pelaksana Industri Pesawat Terbang dengan kedudukan setingkat menteri.

Di Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma telah siap pula Sri Wuryanti, istri Omar, yang tengah hamil tujuh setengah bulan, empat anaknya, dan beberapa anggota staf Angkatan Udara. Mereka akan tinggal di rumah dinas Budiardjo, Duta Besar Republik Indonesia, di Phnom Penh, Kamboja, selama Omar melawat ke sejumlah negara.

Seharusnya Omar dan rombongan berangkat ke Phnom Penh pukul 09.00. Namun penerbangan ditunda dua jam atas permintaan Menteri/Panglima Angkatan Darat Soeharto, yang ingin mengantarkan kepergian Omar sekeluarga. Omar berpikir permintaan itu tak lazim. Tak pernah ada dalam tradisi militer seorang panglima angkatan mengantar sesama panglima angkatan ke luar negeri. Tapi Omar memutuskan tetap menunggu.

Soeharto nyatanya tak datang. Dia cuma menitipkan sepucuk surat melalui Kolonel Udara Kardono, yang diberikan kepada Omar beberapa saat sebelum pesawat Hercules meninggalkan Halim. Dalam buku Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku, Omar mengaku sudah memperkirakan hal itu. ”Soeharto tidak akan datang, tidak pernah akan datang! Permintaan agar keberangkatan ke Phnom Penh ditunda hanyalah satu taktik penjajakan saja,” kata Omar.

Menurut J.M.V. Soeparno, salah seorang penulis buku pleidoi Omar Dani itu, batal hadirnya Soeharto ini mengingatkan Omar pada peristiwa 1 Oktober 1965. Waktu itu Soeharto selaku Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat tak mengizinkan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodro dan Panglima Komando Daerah Militer V Jaya Umar Wirahadikusuma menemui Presiden Soekarno. Padahal keduanya dipanggil menghadap Soekarno. ”Soeharto memang kurang ajar. Dia telah melakukan ’insubordinasi’ terhadap panglima tertinggi. Tentu tidak sukar baginya untuk kurang ajar terhadap pejabat sederajatnya,” kata Omar waktu itu.

Di atas pesawat, Omar membuka surat dalam amplop tertutup dari Soeharto. Dalam surat tanpa tanggal itu Soeharto menulis, ”… sekalipun pada akhir-akhir ini hubungan kita agak terganggu akibat pengadudombaan para petualangan, namun kami pertjaja, setelah kita semuanja sadar tidak akan mendjadi halangan untuk tetap memelihara hubungan pribadi jang baik dan kerdja sama jang erat antara kita sebagai pengabdi negara dan bangsa.”

Surat Soeharto itu bagi Omar penuh dengan suasana perdamaian. Saat berdiskusi mengenai situasi di Tanah Air dengan Atase Udara London, Washington, Moskow, Cekoslovakia, dan Kairo di Den Haag, Belanda, Omar membacakan ”surat damai” tersebut. Ini sekaligus menegaskan bahwa hubungannya dengan Soeharto (akan) baik-baik saja.

Hubungan Omar Dani dan Soeharto sejak dulu memang kurang harmonis. ”Saya juga tidak tahu kenapa dia begitu,” kata Omar kepada Tempo. Omar sendiri mengaku tak pernah memperlihatkan sikap permusuhan kepada Soeharto.

Sejarawan Asvi Warman Adam menjelaskan ketidakharmonisan hubungan Soeharto dan Omar Dani mulai terlihat saat mereka terlibat di Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga—sebelumnya bernama Komando Siaga (Koga)—merupakan wadah perjuangan konfrontasi dengan Malaysia. Omar Dani ditunjuk menjabat Panglima Kolaga oleh Presiden Soekarno. Ia didampingi Deputi Operasi Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksamana Muda L. Mulyadi sebagai wakil I dan Kepala Staf Kostrad Brigjen Achmad Wiranatakusuma sebagai wakil II. ”Entah kenapa belakangan Soeharto, yang waktu itu menjabat Panglima Kostrad, menginginkan jabatan di Kolaga,” ujar Asvi.

Keinginan Soeharto menduduki jabatan di Kolaga itu disampaikan Panglima Angkatan Darat Ahmad Yani kepada Omar. Yani, yang juga sahabat Omar, meminta Brigjen Achmad digantikan Soeharto. Omar awalnya menolak karena selama ini kerja sama dengan Achmad sudah terjalin baik dan tak pernah ada masalah. Dia khawatir penggantian Achmad dengan Soeharto justru menjadi masalah.

”Dia Panglima Kostrad. Kok, mengganti kepala stafnya sendiri? Aneh!” ucap Omar kepada Yani. ”Iki mesti Harto yang minta!”

”Ya pancen (memang) Harto,” jawab Yani. Menurut Yani, selama ini, tak ada seorang pun di Angkatan Darat yang bisa menolak permintaan Soeharto, yang disebut Bung Karno koppig (keras kepala) itu.

Pada awal Januari 1965, Soeharto secara resmi menggantikan Achmad Wiranatakusuma. Soeharto menjadi wakil I dan Mulyadi harus turun menjadi wakil II. Kecemasan Omar kemudian terbukti. Belum lama menjadi Wakil Panglima Kolaga, tiba-tiba Soeharto melapor kepada Presiden Soekarno bahwa Omar kurang tepat menjadi Panglima Kolaga. Soekarno pun langsung membentuk tim evaluasi. ”Setelah ditelusuri dan dilakukan evaluasi, ternyata kinerja Omar baik. Dari situ kelihatan seperti sudah ada perselisihan,” kata Soeparno, pensiunan perwira Angkatan Udara yang lama berdinas di bidang penerangan.

Asvi menduga Soeharto tak suka Angkatan Darat cuma mendapat jatah wakil, di bawah Angkatan Udara. Selain itu, ada kemungkinan Soeharto tak rela cuma menjadi wakil Omar, yang lebih junior dan dianggap belum cukup berpengalaman. Ketidakharmonisan itu berpengaruh pada operasi Kolaga. Ketika Kolaga sibuk melakukan penyusupan pasukan dalam rangka operasi Ganyang Malaysia, kata Asvi, Soeharto justru melakukan penyelundupan hasil bumi Indonesia ke Singapura dan Malaysia. Padahal saat itu tengah dilakukan embargo total kepada kedua negara tersebut.

Kasus penyelundupan itu pernah diangkat Menteri Perhubungan Laut Ali Sadikin dalam sebuah rapat yang dipimpin Wakil Perdana Menteri I Soebandrio. Rapat itu dihadiri semua pemimpin angkatan bersenjata. Disebutkan dalam buku Tuhan, Pergunakanlah Hati, Ali Sadikin bertanya kepada Soebandrio, ”Apa memang ada tugas melakukan penyelundupan?” Omar Dani sebagai Panglima Kolaga mengaku kaget terhadap informasi penyelundupan itu. Namun Soeharto segera menjelaskan bahwa penyelundupan itu dilakukan untuk menyusupkan anak buahnya di Kostrad ke Malaysia. Omar pun meminta Soeharto tak memakai nama Kolaga dalam operasi penyelundupan itu.

Menurut Asvi, ketidaksukaan Soeharto kepada Omar Dani dan Angkatan Udara makin menjadi ketika meletus peristiwa G30S. Surat pernyataan resmi yang dikeluarkan Omar pada 1 Oktober pagi yang menjelaskan posisi Angkatan Udara—menurut Soekarno, surat itu te voor barig (terlalu tergesa-gesa)—justru dijadikan sebagai barang bukti oleh kelompok Soeharto untuk menuduh keterlibatan Omar dalam mendukung G30S. Soeharto sebagai Panglima Kostrad juga menuduh Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma menjadi markas G30S.

Lalu datang surat pribadi Soeharto yang berisi ajakan damai itu. Omar pun berinisiatif memperbanyak surat tersebut setelah beberapa duta besar dan atase pertahanan bertanya tentang hubungannya dengan Soeharto. Salinan surat itu ia berikan kepada Atase Udara di London, Washington, Moskow, Cekoslovakia, dan Kairo. Namun, tanpa setahu Omar, fotokopi surat pribadi itu beredar ke semua duta besar di Eropa. Ini membuat Soeharto marah besar.

Ketika Omar dan keluarganya kembali ke Tanah Air pada 20 April 1966, ia menerima lagi surat Soeharto. Kali ini bukan surat perdamaian, melainkan surat perintah penahanan. Berdasarkan surat yang ditandatangani Soeharto selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat sekaligus Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban pada 5 April itu, Omar dan seluruh keluarganya langsung diboyong ke Cibogo untuk menjalani tahanan rumah.

Sejak itulah Omar menjadi pesakitan. Selama 29 tahun 4 bulan, dia berpindah-pindah penjara, mulai Inrehab Nirbaya, Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, hingga penjara Cipinang. Walaupun begitu, Omar mengaku tak pernah menaruh dendam pada Soeharto. ”Sudahlah, semua sudah terjadi. Lagi pula untuk apa saya dendam, wong dia dulu juga belum tentu memikirkan saya,” ujarnya enteng.

Nunuy Nurhayati
17/XXXVIII 15 Juni 2009

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/06/15/MEM/mbm.20090615.MEM130553.id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar